Selasa, 31 Desember 2013

[Cerpen] Brokoli Di Tahun Yang Baru



Sudah 8.030 hari tak ada yang berubah saat dua puluh dua kali pergantian tahun baru. Lima tahun terakhir bahkan selalu mengecewakan, harapan yang menggantung di langit-langit saat kembang api ditembakkan ke atas−−tepat pukul dua belas malam hanya menjadi percikan yang tak berharga.

Winny merapal mantra yang didapatnya dari hasil blogwalking sebelum tiga hari menjelang tahun baru. Kesukaannya berselancar di dunia maya membuatnya kreatif untuk menjalani pergantian tahun meskipun hanya di rumah.  Kakak laki-lakinya, Willy, yang empat tahun lebih tua diatasnya malah sudah bosan dengan tahun baru di luar rumah, hingga terkadang lelaki bertubuh jangkung altletis itu senang sekali meledek adiknya yang kuper. Saat mereka masih remaja memang terdengar seperti ledekan, tapi di usia yang sudah tidak lagi pantas bermain-main, makna tahun baru lebih terasa berbeda. Willy suka bermian di luar dengan teman-teman se-geng-nya, dua tahun terakhir malah sering pergi di malam tahun baru dengan kekasihnya. Tak ada waktu lagi bagi adiknya maupun keluarga, hanya Ibu dan Winny berdua. Ayah mereka sudah meninggal sebelas tahun yang lalu. Tahun baru semakin tidak ada yang spesial bagi Winny.

Tubuh kurus Winny terhempas di kasur yang tidak begitu empuk, punggungnya terasa ngilu setelah seharian menatap layar komputer. Wajahnya terlihat semakin tirus, berbanding jauh dengan rambut keritingnya yang mengembang bak sarang lebah. Buku-buku fiksi berserakan di atas kasur dan beberapa di lantai bahkan di kolong kasur. Ia sudah jatuh tertidur, melayang-layang di alam mimpinya, bertemu seorang pangeran saat malam tahun baru tiba.
**

“Win, malam tahun baru nanti mau ikut Abang nggak jalan-jalan?”
Tumben, tumben sekali. Abang sedang jomblokah? Batin Winny riang. Mantranya berhasil. Bukan, bukan berdoa agar kakaknya putus, tapi berdoa agar malam tahun baru nanti ia bisa memiliki perubahan besar. Inikah perubahan itu?
“Eh, malah bengong? Abang nggak akan nawarin dua kali.”
“Mau, Bang,” Winny berkata antusias. Ia menarik kursi makan sambil terus tersenyum. Ibunya geleng-geleng kepala, sudah kenyang melewati tahun baru ketika muda dulu. Bagaimana ia bercerita pada anaknya, terutama pada Winny, bahwa dulu ibunya itu jadi rebutan lelaki di kampungnya yang ingin mengajaknya tahun baru ke alun-alun untuk melihat pesta kembang api di sana. Winny selalu tertohok kecewa, bukan karena dalam ceritanya ibunya tidak memilih ayah waktu itu, tapi karena mengapa dia tidak sama seperti ibunya yang digilai para lelaki yang berebut ingin malam tahun baru bersamanya.

Dulu, dulu sekali... Saat masih kelas lima SD, ada seorang lelaki bernama  Panca, anak baru sekaligus tetangga rumahnya (sekarang sudah pindah) sama persis seperti ibunya, bedanya dia gilai teman-teman perempuan karena ketampanannya. Kulitnya putih, wajahnya oriental seperti Hua Ze Lei ketika booming-nya F4 saat itu. Panca sama dengan lelaki lainnya yang tidak berminat meliriknya saat itu. Winny sudah terlalu jauh minder dengan kebanyakan orang sejak ia kecil, tubuhnya yang kurus dengan rambut keriting mengembang sering jadi bahan olokan teman-temannya. Bak brokoli yang berjalan. Tak punya teman apalagi sahabat. Satu kali dalam tiga ratus enam puluh lima hari selalu berdoa agar ada perubahan di setiap kelipatan hari itu.
**

“Lo berubah,” kata seorang perempuan bermata sipit, tengah duduk di dalam mobil, menatap sarkatis orang di sebelahnya yang sedang menyetir.
“San, please, don’t make me feel guilty!” bela lelaki yang menyetir itu. Ia menghela napas panjang lalu akhirnya berhenti tepat di depan bandara.
“Jadi, lo lebih milih balik ke kampung daripada ikut sama gue ke Paris?”
Lelaki itu diam, hanya mengangguk sekali. Matanya menatap lurus ke depan, tidak peduli bagaimana perempuan cantik di sebelahnya sedang menatapnya penuh harap agar ia ikut merayakan tahun baru di negara romantis itu.

Sudah satu tahun mereka berpacaran, lebih dari lima tahun berteman, sahabat jadi cinta rupanya membuat mereka berubah. Ia pikir dengan memilih sahabat sendiri untuk jadi kekasih akan membuatnya lebih nyaman. Memang nyaman awalnya, tapi terlalu nyaman membuatnya tidak bisa berubah. Baru kemarin mereka memutuskan mengakhiri hubungan sebagai sepasang kekasih secara baik-baik. Terbukti sekarang lelaki itu mau mengantar mantan kekasihnya pergi.
“Gue sayang lo, Pan. Jangan mentang-mentang udah putus kita nggak sahabatan lagi.”
“Gue ngerti, kok. Thanks, ya, jarang banget gue ketemu cewek kayak lo. Kalau jodoh, kita pasti ketemu lagi. Belajar yang rajin di sana,” lelaki itu mengusap rambut Sani lembut.

Kepergian Sani ke Paris untuk melanjutkan kuliah membuat lelaki itu lega, sudah seharusnya ia tidak menjadikan persahabatan digoresi cinta. Selama setahun terakhir ia merasa bersalah pada kakaknya yang mencintai Sani, tapi Sani tidak tahu itu. Bagaimana dengan teganya ia membuat Sani jatuh cinta padanya, bukan pada kakaknya yang sekarang menjadi orang lain di kampung halamannya. Tahun baru yang tinggal dua hari lagi ia memutuskan akan pulang ke Bandung.
**

Winny menatap layar ponselnya, membuka-buka timeline twitter. Semua tweet begitu semarak menyambut tahun baru yang tinggal dua hari lagi. Ia mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, rambutnya semakin kusut tak berbentuk. Wajahnya mulai menekuk saat membuka Path, melihat teman-teman sekampusnya memamerkan foto−−gaun apa yang akan dipakai untuk tahun baru nanti, lalu bergaya rambut lurus dengan poni kotak di dahi. Winny menggerung pelan, yang tak sengaja di dengar oleh ibunya.
“Tadi pagi ada undangan buat kamu.” Ibunya menghampiri mengelus-elus rambut Winny sembari menyerahkan undangan berwarna cokelat itu.
“Siapa lagi sih yang mau nikah muda?” Winny berceletuk sambil menekuk wajahnya. Tak lama matanya langsung melebar seketika saat membaca reuni akbar sekolah dasar di kertas cokelat itu.
“Ada apa, Win?” Ibu tidak kalah terkejut melihat perubahan ekspresi anaknya.
“Ma, please, Winny minta uang buat ke salon.”
“Ada apa sih, berisik banget?” Willy muncul dari kamar mandi memperlihatkan tubuhnya yang kotak-kotak, Winny mendengus sebal melihatnya.
“Bang, tahun baruannya Winny nggak jadi ikut, mau reunian,” Winny mengibas-ngibaskan kertas bewarna cokelat itu di depan wajah kakaknya.
“Wow, tumben bener ada acara.”
Winny senyum-senyum sambil berlenggak lenggok seperti cacing kepanasan.
“Syukur, deh. Abang juga mau pergi sama pacar tersayang, nggak enak kan kalau lo ikut.”
“Oooh, jadi abang sebenernya nggak niat ngajak? Mau jadiin aku kambing conge, gitu?”
“Duh, jangan sewot dong adikku tersayang. Bentar, ya, abang ganti baju dulu. Lo butuh ke salon kan sekarang?”
Mulut Winny langsung mangap, mengangguk-angguk penuh semangat, mengikuti kakaknya sampai pintu kamar yang langsung ditutup.
**

Satu hari lagi tahun baru. Winny membacanya lalu mencoretnya, digantikan ‘satu hari lagi reuni akbar sekolah dasar dan tahun baru’. Dia terus bercermin sepanjang pulang dari salon kemarin sore. Pagi ini ia mulai berkaca lagi, rambutnya sekarang sudah lurus, ini memang impiannya sejak tahun-tahun yang lalu, berpenampilan baru saat merayakan tahun baru, tapi sayangnya tahun-tahun sebelumnya tak ada yang mengajaknya keluar, jadi percumalah mau berpenampilan sebagus apapun jika tidak ada yang melihat.
##

Bandung terasa semakin dingin saat kedua lelaki yang tengah duduk di ruang tengah saling terdiam, memandang kosong gelas berisi kopi yang masih penuh.
“Bang, maafin gue, ya? Gue udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama Sani. Kita bisa mulai lagi dari awal.”
Lelaki beralis tebal yang bernama Ryo itu diam saja, justru menyeruput kopinya lebih dulu. Kopi yang telah dibuat oleh adik tirinya. Dia melirik selembar kertas cokelat di meja, mencoba mengalihkan pikiran dan tentu saja pembicaraan.
“Besok malam ada acara reunian, kan? Lo mau dateng?”
Panca mengikuti arah pandang kakaknya, menggeleng. “Gue dateng kesini buat lo, Bang. Bukan untuk ikut acara tahun baru.”
Ryo mendengus, lalu tertawa. “Lo nggak berubah, masih keras kepala kayak dulu.”
“Gue udah maafin lo, jauh sebelum lo akhirnya memutuskan untuk pulang,” lanjutnya.
“Serius, Bang?”
“Muka gue nggak kelihatan serius, ya? Udahlah, mending lo pergi aja ke reunian itu, siapa tahu lo bisa move on.”
Panca mendengus, lalu tertawa. Perasaannya kembali lega. Ryo tidak sejahat yang otaknya pikirkan, Ryo bukan kakak tiri bak di sinetron-sinetron, kenyataan ternyata lebih mudah jika dihadapi.

Sorenya Panca sengaja datang ke sekolah dasarnya dulu. Bangunan yang dulu terlihat besar baginya, kini terlihat begitu kecil. Pot-pot bunga yang selalu disiramnya waktu kebagian piket kelas dulu tampak seperti pot mainan. Panca tersenyum mengenang masa kecilnya itu, sampai ia berumur dua belas tahun di kota Lembang ini. Artinya sudah sebelas tahun ia tidak menginjakkan kakinya disini. Kejam sekali, pikirnya.

Matanya mulai tertarik ke sudut tembok yang buntu. Di situ biasanya gadis brokoli berdiri. Sendirian. Tidak punya teman. Panca tersenyum, mengingat bagaimana ia pernah mengajak gadis itu bermain, tapi teman-teman di sekelilingnya malah mengolok-oloknya.
Gadis brokoli, seperti apa dia sekarang?
**
“Win, udah dong, jangan ngaca terus. Nanti kacanya pecah, loh.”
“Ih, Mama. Nggak bisa lihat anaknya cantik sebentar.”
“Bukannya, gitu. Mama seneng loh rambut kamu kayak apa juga, malah harusnya kamu bersyukur, rambut keriting itu turunan ayahmu.”
Winny terdiam, meninggalkan cermin di hadapannya. “Mama nggak bermaksud bikin Winny merasa bersalahkan? Winny cuma pengin keliatan cantik aja kok, habis acara selesai, obat lurusnya juga habis.”
Ibunya menghela napas pendek, mengangguk mengerti. Menyerahkan gaun yang dijahitnya karena ada bagian yang bolong.  Sementara Winny sudah menerimanya, dia kembali ke cermin lagi, menggembung-gembungkan pipinya yang tirus.

Sudah bukan hitungan hari, tahun baru akan segera datang beberapa jam lagi. Winny menyalakan komputernya, mengetik di pencarian bagaimana bersikap di acara reunian. Namun, belum juga menekan enter, matanya tertarik bulat saat mendapati update terbaru dari blog favoritnya, ‘berpenampilan menarik adalah menjadi diri sendiri.’
Winny mendengus sebal, mengapa tidak dari kemarin posting yang seperti ini, supaya dia tidak harus susah payah ke salon, dan ibunya tak perlu sedih karena rambut turunan suaminya malah dirubah, walaupun hanya sementara. Ia mematikan komputernya. Lupa, ah, tidak sempat melihat bagaimana cara menarik perhatian saat acara reuni. Teman-temannya pasti tidak akan mengenalnya, maksudnya tidak ingat gadis brokoli lagi. Tiba-tiba ia teringat lelaki itu, dia datang tidak, ya?
**

Sejak tadi Winny menekuk wajahnya, entah mengapa tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan perasaannya sendiri. Rasa nyaman bertahun-tahun bermalam tahun baruan di rumah bersama ibunya−−tiba-tiba detik ini terasa asing, jauh berbeda dari apa yang selalu ia impikan dan harapkan.
“Bener nih nggak mau ikut sama Abang?” Willy memancing adiknya yang sejak tadi berubah murung.  Tak ada jawaban dari Winny, hanya gelengan pelan tanpa semangat. “Kalau gitu, Abang pergi dulu, ya...” lalu pergilah satu anggota keluarga kecil itu.

Ibu sudah masuk kembali ke dalam, memilih untuk menonton tv di rumah. Winny duduk di teras, menunggu lima menit lagi untuk berangkat. Sudah jadi kebiasaannya mengatur waktu yang tepat setiap kali berpergian, dia tidak ingin menjadi orang yang pertama kali datang, ataupun orang yang terakhir datang. Karena semua itu akan menjadi sorotan. Ia belum terbiasa dengan hal itu, seperti detik ini, perutnya terasa mulas menunggu kapan malam ini akan segera berakhir.

Lima menit akhirnya berlalu seperti bom waktu yang begitu cepat. Winny sengaja berjalan kaki ke tempat pertemuan reuni itu, tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sudah bertahun-tahun tinggal di kampung halaman, membuatnya tidak takut, semua sudah jadi daerahnya.

Tepat jam delapan malam, Winny sudah berdiri di depan kafe tempat pertemuan reuni akbar sekolah dasarnya. Ia tampak ragu, antara ingin masuk atau pulang lagi saja. ia meremas-remas tangannya yang kaku karena dinginnya malam di kota Bandung. Perasaan gelisah seperti sebelas tahun yang lalu mulai kembali lagi, perasaan takut tak ada teman membuat wajahnya pucat. Semua teman-teman masa kecilnya berubah banyak, tapi mereka semua masih saling akrab, tertawa-tawa, persis dengan tawa yang dilihatnya saat mengolok-oloknya dulu.

Percuma, batinnya dalam hati, keluar dari zona nyaman membuatnya malah seperti ini, semakin tidak percaya diri. Tahun baru yang selalu dikhayalkannya indah takan pernah jadi nyata. Winny berbalik, mengurungkan niat untuk masuk lebih jauh lagi. Rambutnya yang lurus tertata rapih mulai kusut, mungkin efek obat lurus akan segera habis setelah jam dua belas malam tiba.
“Eh, itu si brokoli kan?” suara seseorang yang terdengar keras menusuk ke telinga Winny. Ingin berbalik tapi malu, akhirnya hanya maju atau mundur, kakinya menapak tak seimbang.
“Winny?” tanya seorang lelaki tiba-tiba, tangah berdiri di depannya tampak baru saja datang. Lelaki bermata sipit itu tersenyum. “Baru datang juga? Ayo, masuk!”
Winny tidak percaya orang yang baru saja bicara dengannya adalah Panca, lelaki yang dulu pernah disukainya. Lelaki itu tidak pernah berubah, masih seperti dulu, murah senyum, tidak mudah meremehkan orang. Sering sekali Winny salah paham dengan sikap lelaki itu, membuat ia lelah patah hati karena perasaannya sendiri.
“Bener kan, si gadis brokoli,” kata seorang yang tadi berseru memanggil namanya. Winny menunduk, perubahan yang ia lakukan justru membuatnya merasa malu. Apa bedanya jika ia datang dengan rambutnya yang keriting, tidak ada bednya dengan rambutnya yang sudah susah payah diluruskan, tetap saja brokoli jadi panggilan yang tidak bisa dihilangkan.
“Dia bukan gadis brokoli lagi,” kata Panca, tidak terdengar seperti belaan, tapi hanya menegaskan, bahwa rambut Winny sekarang lurus.
“Hei, anak baru, Panca. Welcome in Bandung club,” sahut yang lain mencairkan suasana.
“Thank you, senang bertemu kalian lagi.”
“Bersenang-senanglah untuk malam ini, malam reuni sekaligus tahun baru.”
 Sekarang semuanya sudah kembali ke tempatnya semula, melanjutkan percakapan−−mungkin yang tadi terhenti karena kehadiran brokoli dan pangeran tampan.

Mata Winny berbinar, malam ini begitu spesial, berada di tempat yang sama pada malam tahun baru dengan orang yang disukai adalah sudah cukup membahagiakan. Tak perlu berangan-angan lebih ingin mengobrol, apalagi pulang bersama. Dengan hanya melihatnya saja itu sudah cukup. Doanya terkabul setelah ribuan hari dilewati.

Kembang api di tembakkan ke angkasa, berpencar indah beraneka bentuk, semua mata saling melihat ke atas. Winny menutup mata takut-takut, Panca yang berada di sebelahnya heran, tertarik untuk bicara dengan sedikit berteriak karena semakin bisingnya kafe out door ini.
“Kenapa kamu nggak lihat kembang apinya?”
Winny terkejut, membuka matanya dan melirik pada lelaki di sebelahnya itu. Menunggu apa yang akan Panca katakan lagi, karena terus terang Winny tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya takut, takut saat melihat cahaya kembang api itu membuatnya terbangun dari mimpi.
“Pertama kali sejak umurku sebelas tahun, aku berharap bisa melewati tahun baru bersama keluargaku melihat kembang api. Tetapi belum juga malam itu datang justru aku kehilangan kembang api itu selama-lamanya.”
Panca terdiam, teringat kejadian saat sebelas tahun yang lalu. Yang mana ketika itu ia berpamitan dengan teman sekelasnya karena akan pindah sekolah dan tempat tinggal keluar kota. Winny menangis di sudut tembok yang buntu, bukan menangisi kepergiannya, mealinkan karena keergian ayahnya untuk selama-lamanya.
“Maaf...” Panca menatap Winny merasa bersalah.
“Nggak apa-apa.” Winny menggeleng dan tersenyum. Sekarang kembang apinya mulai menyala lagi. Mungkin, mungkin saja jika boleh ia berharap, berkhayal, dan bermimpi, jika Panca adalah kembang apinya yang akan tetap terang dalam kehidupannya.
**

Semalam hidup Winny terasa jungkir balik, sama seperti rambutnya sekarang yang mulai berbentuk tak karuan. Perasaan nyaman yang menghinggapinya selama beribu-ribu hari bisa dikalahkan oleh satu waktu malam tadi. Sebentar saja, melakukan perubahan, perbedaan benar-benar membuatnya bahagia. Jika saja mulai detik ini, setiap kali Winny memandang hidup ke depan, banyak mencoba, dan tidak sama setiap harinya di depan layar komputer ataupun ponsel, pasti akan banyak momen mengejutkan yang menanti diluar sana.

Pagi ini ia akan pergi ke sekolah dasarnya dulu, Panca memberitahunya akan bermain di sana, mengenang masa kecilnya yang ia habiskan begitu singkat di kota Bandung.
“Win, mau pergi kemana pagi-pagi gini?”
“Olahraga di SD, Ma.” Winny menggaruk-garuk rambutnya yang tidak sempat ia bersihkan dari sisa obat lurusnya.
“Kamu nggak mandi dulu apa?”
“Udah, Ma.” Winny menyaut sambil memakai sepatu olahraganya.
“Rambut kamu itu?”
“Mubajir, Ma. Masih sedikit lurus nih, kalau di keramas bisa luntur.”
“Jorok banget, sih.”
Winny tertawa riang, melangkahkan kakinya seringan mungkin. Semalam ia sudah berpikir, menjadi nyaman dengan peampilan harus tetap dipertahankan, karena menjadi diri sendiri artinya tidak berbohong. Memang akan terlihat jelas ia memaksakan rambutnya yang seperti ini, tapi tidak apa-apa untuk sekali ini saja bertemu dengan Panca dalam keadaan yang menarik, alias tidak jelek. Karena setelah ini, ia tidak tahu akan bisa bertemu lagi dengannya atau tidak.
“Maaf, terlambat.” Panca berlari menghampiri Winny yang sedang merentangkan tangannya melakukan pemanasan.
“Nggak apa-apa,” Winny terkekeh pelan. “Selamat pagi.”
“Pagi, Brokoli di tahun baru.”
**

1 komentar:

  1. Senangnya menikmati kehidupan si gadis brokoli XD Akhirnya ia menemukan seseorang! Terima kasih atas tulisannya ya kak, kebetulan saya juga ikutan #nuliskilat dan nemu link tulisan kakak, jadi blogwalking deh :D Semoga sukses ya kak!

    BalasHapus