Sudah 8.030 hari
tak ada yang berubah saat dua puluh dua kali pergantian tahun baru. Lima tahun
terakhir bahkan selalu mengecewakan, harapan yang menggantung di langit-langit
saat kembang api ditembakkan ke atas−−tepat pukul dua belas malam hanya menjadi
percikan yang tak berharga.
Winny merapal
mantra yang didapatnya dari hasil blogwalking
sebelum tiga hari menjelang tahun baru. Kesukaannya berselancar di dunia
maya membuatnya kreatif untuk menjalani pergantian tahun meskipun hanya di
rumah. Kakak laki-lakinya, Willy, yang
empat tahun lebih tua diatasnya malah sudah bosan dengan tahun baru di luar
rumah, hingga terkadang lelaki bertubuh jangkung altletis itu senang sekali
meledek adiknya yang kuper. Saat mereka masih remaja memang terdengar seperti ledekan,
tapi di usia yang sudah tidak lagi pantas bermain-main, makna tahun baru lebih terasa
berbeda. Willy suka bermian di luar dengan teman-teman se-geng-nya, dua tahun
terakhir malah sering pergi di malam tahun baru dengan kekasihnya. Tak ada
waktu lagi bagi adiknya maupun keluarga, hanya Ibu dan Winny berdua. Ayah
mereka sudah meninggal sebelas tahun yang lalu. Tahun baru semakin tidak ada
yang spesial bagi Winny.
Tubuh kurus
Winny terhempas di kasur yang tidak begitu empuk, punggungnya terasa ngilu
setelah seharian menatap layar komputer. Wajahnya terlihat semakin tirus, berbanding
jauh dengan rambut keritingnya yang mengembang bak sarang lebah. Buku-buku
fiksi berserakan di atas kasur dan beberapa di lantai bahkan di kolong kasur.
Ia sudah jatuh tertidur, melayang-layang di alam mimpinya, bertemu seorang
pangeran saat malam tahun baru tiba.
**
“Win, malam
tahun baru nanti mau ikut Abang nggak jalan-jalan?”
Tumben, tumben sekali. Abang sedang
jomblokah? Batin Winny riang. Mantranya berhasil. Bukan, bukan berdoa agar
kakaknya putus, tapi berdoa agar malam tahun baru nanti ia bisa memiliki
perubahan besar. Inikah perubahan itu?
“Eh, malah
bengong? Abang nggak akan nawarin dua kali.”
“Mau, Bang,”
Winny berkata antusias. Ia menarik kursi makan sambil terus tersenyum. Ibunya
geleng-geleng kepala, sudah kenyang melewati tahun baru ketika muda dulu.
Bagaimana ia bercerita pada anaknya, terutama pada Winny, bahwa dulu ibunya itu
jadi rebutan lelaki di kampungnya yang ingin mengajaknya tahun baru ke
alun-alun untuk melihat pesta kembang api di sana. Winny selalu tertohok
kecewa, bukan karena dalam ceritanya ibunya tidak memilih ayah waktu itu, tapi
karena mengapa dia tidak sama seperti ibunya yang digilai para lelaki yang berebut
ingin malam tahun baru bersamanya.
Dulu, dulu
sekali... Saat masih kelas lima SD, ada seorang lelaki bernama Panca, anak baru sekaligus tetangga rumahnya
(sekarang sudah pindah) sama persis seperti ibunya, bedanya dia gilai
teman-teman perempuan karena ketampanannya. Kulitnya putih, wajahnya oriental
seperti Hua Ze Lei ketika booming-nya
F4 saat itu. Panca sama dengan lelaki lainnya yang tidak berminat meliriknya
saat itu. Winny sudah terlalu jauh minder dengan kebanyakan orang sejak ia
kecil, tubuhnya yang kurus dengan rambut keriting mengembang sering jadi bahan
olokan teman-temannya. Bak brokoli yang berjalan. Tak punya teman apalagi
sahabat. Satu kali dalam tiga ratus enam puluh lima hari selalu berdoa agar ada
perubahan di setiap kelipatan hari itu.
**
“Lo berubah,”
kata seorang perempuan bermata sipit, tengah duduk di dalam mobil, menatap
sarkatis orang di sebelahnya yang sedang menyetir.
“San, please, don’t
make me feel guilty!” bela lelaki yang menyetir itu. Ia menghela napas panjang
lalu akhirnya berhenti tepat di depan bandara.
“Jadi, lo lebih
milih balik ke kampung daripada ikut sama gue ke Paris?”
Lelaki itu diam,
hanya mengangguk sekali. Matanya menatap lurus ke depan, tidak peduli bagaimana
perempuan cantik di sebelahnya sedang menatapnya penuh harap agar ia ikut
merayakan tahun baru di negara romantis itu.
Sudah satu tahun
mereka berpacaran, lebih dari lima tahun berteman, sahabat jadi cinta rupanya
membuat mereka berubah. Ia pikir dengan memilih sahabat sendiri untuk jadi
kekasih akan membuatnya lebih nyaman. Memang nyaman awalnya, tapi terlalu
nyaman membuatnya tidak bisa berubah. Baru kemarin mereka memutuskan mengakhiri
hubungan sebagai sepasang kekasih secara baik-baik. Terbukti sekarang lelaki
itu mau mengantar mantan kekasihnya pergi.
“Gue sayang lo,
Pan. Jangan mentang-mentang udah putus kita nggak sahabatan lagi.”
“Gue ngerti,
kok. Thanks, ya, jarang banget gue ketemu cewek kayak lo. Kalau jodoh, kita
pasti ketemu lagi. Belajar yang rajin di sana,” lelaki itu mengusap rambut Sani
lembut.
Kepergian Sani
ke Paris untuk melanjutkan kuliah membuat lelaki itu lega, sudah seharusnya ia
tidak menjadikan persahabatan digoresi cinta. Selama setahun terakhir ia merasa
bersalah pada kakaknya yang mencintai Sani, tapi Sani tidak tahu itu. Bagaimana
dengan teganya ia membuat Sani jatuh cinta padanya, bukan pada kakaknya yang
sekarang menjadi orang lain di kampung halamannya. Tahun baru yang tinggal dua
hari lagi ia memutuskan akan pulang ke Bandung.
**
Winny menatap
layar ponselnya, membuka-buka timeline twitter. Semua tweet begitu semarak
menyambut tahun baru yang tinggal dua hari lagi. Ia mengaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal, rambutnya semakin kusut tak berbentuk. Wajahnya mulai menekuk
saat membuka Path, melihat teman-teman sekampusnya memamerkan foto−−gaun apa
yang akan dipakai untuk tahun baru nanti, lalu bergaya rambut lurus dengan poni
kotak di dahi. Winny menggerung pelan, yang tak sengaja di dengar oleh ibunya.
“Tadi pagi ada
undangan buat kamu.” Ibunya menghampiri mengelus-elus rambut Winny sembari
menyerahkan undangan berwarna cokelat itu.
“Siapa lagi sih
yang mau nikah muda?” Winny berceletuk sambil menekuk wajahnya. Tak lama matanya
langsung melebar seketika saat membaca reuni akbar sekolah dasar di kertas
cokelat itu.
“Ada apa, Win?”
Ibu tidak kalah terkejut melihat perubahan ekspresi anaknya.
“Ma, please,
Winny minta uang buat ke salon.”
“Ada apa sih,
berisik banget?” Willy muncul dari kamar mandi memperlihatkan tubuhnya yang
kotak-kotak, Winny mendengus sebal melihatnya.
“Bang, tahun
baruannya Winny nggak jadi ikut, mau reunian,” Winny mengibas-ngibaskan kertas
bewarna cokelat itu di depan wajah kakaknya.
“Wow, tumben
bener ada acara.”
Winny
senyum-senyum sambil berlenggak lenggok seperti cacing kepanasan.
“Syukur, deh.
Abang juga mau pergi sama pacar tersayang, nggak enak kan kalau lo ikut.”
“Oooh, jadi
abang sebenernya nggak niat ngajak? Mau jadiin aku kambing conge, gitu?”
“Duh, jangan
sewot dong adikku tersayang. Bentar, ya, abang ganti baju dulu. Lo butuh ke
salon kan sekarang?”
Mulut Winny langsung
mangap, mengangguk-angguk penuh semangat, mengikuti kakaknya sampai pintu kamar
yang langsung ditutup.
**
Satu hari lagi
tahun baru. Winny membacanya lalu mencoretnya, digantikan ‘satu hari lagi reuni
akbar sekolah dasar dan tahun baru’. Dia terus bercermin sepanjang pulang dari
salon kemarin sore. Pagi ini ia mulai berkaca lagi, rambutnya sekarang sudah
lurus, ini memang impiannya sejak tahun-tahun yang lalu, berpenampilan baru
saat merayakan tahun baru, tapi sayangnya tahun-tahun sebelumnya tak ada yang
mengajaknya keluar, jadi percumalah mau berpenampilan sebagus apapun jika tidak
ada yang melihat.
##
Bandung terasa
semakin dingin saat kedua lelaki yang tengah duduk di ruang tengah saling
terdiam, memandang kosong gelas berisi kopi yang masih penuh.
“Bang, maafin
gue, ya? Gue udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama Sani. Kita bisa mulai
lagi dari awal.”
Lelaki beralis tebal
yang bernama Ryo itu diam saja, justru menyeruput kopinya lebih dulu. Kopi yang
telah dibuat oleh adik tirinya. Dia melirik selembar kertas cokelat di meja,
mencoba mengalihkan pikiran dan tentu saja pembicaraan.
“Besok malam ada
acara reunian, kan? Lo mau dateng?”
Panca mengikuti
arah pandang kakaknya, menggeleng. “Gue dateng kesini buat lo, Bang. Bukan
untuk ikut acara tahun baru.”
Ryo mendengus,
lalu tertawa. “Lo nggak berubah, masih keras kepala kayak dulu.”
“Gue udah maafin
lo, jauh sebelum lo akhirnya memutuskan untuk pulang,” lanjutnya.
“Serius, Bang?”
“Muka gue nggak
kelihatan serius, ya? Udahlah, mending lo pergi aja ke reunian itu, siapa tahu
lo bisa move on.”
Panca mendengus,
lalu tertawa. Perasaannya kembali lega. Ryo tidak sejahat yang otaknya pikirkan,
Ryo bukan kakak tiri bak di sinetron-sinetron, kenyataan ternyata lebih mudah
jika dihadapi.
Sorenya Panca
sengaja datang ke sekolah dasarnya dulu. Bangunan yang dulu terlihat besar
baginya, kini terlihat begitu kecil. Pot-pot bunga yang selalu disiramnya waktu
kebagian piket kelas dulu tampak seperti pot mainan. Panca tersenyum mengenang
masa kecilnya itu, sampai ia berumur dua belas tahun di kota Lembang ini.
Artinya sudah sebelas tahun ia tidak menginjakkan kakinya disini. Kejam sekali,
pikirnya.
Matanya mulai
tertarik ke sudut tembok yang buntu. Di situ biasanya gadis brokoli berdiri.
Sendirian. Tidak punya teman. Panca tersenyum, mengingat bagaimana ia pernah
mengajak gadis itu bermain, tapi teman-teman di sekelilingnya malah
mengolok-oloknya.
Gadis brokoli,
seperti apa dia sekarang?
**
“Win, udah dong,
jangan ngaca terus. Nanti kacanya pecah, loh.”
“Ih, Mama. Nggak
bisa lihat anaknya cantik sebentar.”
“Bukannya, gitu.
Mama seneng loh rambut kamu kayak apa juga, malah harusnya kamu bersyukur, rambut
keriting itu turunan ayahmu.”
Winny terdiam,
meninggalkan cermin di hadapannya. “Mama nggak bermaksud bikin Winny merasa
bersalahkan? Winny cuma pengin keliatan cantik aja kok, habis acara selesai,
obat lurusnya juga habis.”
Ibunya menghela
napas pendek, mengangguk mengerti. Menyerahkan gaun yang dijahitnya karena ada
bagian yang bolong. Sementara Winny
sudah menerimanya, dia kembali ke cermin lagi, menggembung-gembungkan pipinya
yang tirus.
Sudah bukan
hitungan hari, tahun baru akan segera datang beberapa jam lagi. Winny
menyalakan komputernya, mengetik di pencarian bagaimana bersikap di acara
reunian. Namun, belum juga menekan enter, matanya tertarik bulat saat mendapati
update terbaru dari blog favoritnya, ‘berpenampilan menarik adalah menjadi diri
sendiri.’
Winny mendengus
sebal, mengapa tidak dari kemarin posting yang seperti ini, supaya dia tidak
harus susah payah ke salon, dan ibunya tak perlu sedih karena rambut turunan
suaminya malah dirubah, walaupun hanya sementara. Ia mematikan komputernya. Lupa,
ah, tidak sempat melihat bagaimana cara menarik perhatian saat acara reuni.
Teman-temannya pasti tidak akan mengenalnya, maksudnya tidak ingat gadis
brokoli lagi. Tiba-tiba ia teringat lelaki itu, dia datang tidak, ya?
**
Sejak tadi Winny
menekuk wajahnya, entah mengapa tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan perasaannya
sendiri. Rasa nyaman bertahun-tahun bermalam tahun baruan di rumah bersama ibunya−−tiba-tiba
detik ini terasa asing, jauh berbeda dari apa yang selalu ia impikan dan
harapkan.
“Bener nih nggak
mau ikut sama Abang?” Willy memancing adiknya yang sejak tadi berubah
murung. Tak ada jawaban dari Winny,
hanya gelengan pelan tanpa semangat. “Kalau gitu, Abang pergi dulu, ya...” lalu
pergilah satu anggota keluarga kecil itu.
Ibu sudah masuk
kembali ke dalam, memilih untuk menonton tv di rumah. Winny duduk di teras,
menunggu lima menit lagi untuk berangkat. Sudah jadi kebiasaannya mengatur
waktu yang tepat setiap kali berpergian, dia tidak ingin menjadi orang yang
pertama kali datang, ataupun orang yang terakhir datang. Karena semua itu akan
menjadi sorotan. Ia belum terbiasa dengan hal itu, seperti detik ini, perutnya
terasa mulas menunggu kapan malam ini akan segera berakhir.
Lima menit
akhirnya berlalu seperti bom waktu yang begitu cepat. Winny sengaja berjalan kaki
ke tempat pertemuan reuni itu, tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sudah bertahun-tahun
tinggal di kampung halaman, membuatnya tidak takut, semua sudah jadi daerahnya.
Tepat jam
delapan malam, Winny sudah berdiri di depan kafe tempat pertemuan reuni akbar sekolah
dasarnya. Ia tampak ragu, antara ingin masuk atau pulang lagi saja. ia
meremas-remas tangannya yang kaku karena dinginnya malam di kota Bandung.
Perasaan gelisah seperti sebelas tahun yang lalu mulai kembali lagi, perasaan
takut tak ada teman membuat wajahnya pucat. Semua teman-teman masa kecilnya
berubah banyak, tapi mereka semua masih saling akrab, tertawa-tawa, persis dengan
tawa yang dilihatnya saat mengolok-oloknya dulu.
Percuma,
batinnya dalam hati, keluar dari zona nyaman membuatnya malah seperti ini,
semakin tidak percaya diri. Tahun baru yang selalu dikhayalkannya indah takan
pernah jadi nyata. Winny berbalik, mengurungkan niat untuk masuk lebih jauh
lagi. Rambutnya yang lurus tertata rapih mulai kusut, mungkin efek obat lurus
akan segera habis setelah jam dua belas malam tiba.
“Eh, itu si
brokoli kan?” suara seseorang yang terdengar keras menusuk ke telinga Winny.
Ingin berbalik tapi malu, akhirnya hanya maju atau mundur, kakinya menapak tak
seimbang.
“Winny?” tanya
seorang lelaki tiba-tiba, tangah berdiri di depannya tampak baru saja datang.
Lelaki bermata sipit itu tersenyum. “Baru datang juga? Ayo, masuk!”
Winny tidak
percaya orang yang baru saja bicara dengannya adalah Panca, lelaki yang dulu
pernah disukainya. Lelaki itu tidak pernah berubah, masih seperti dulu, murah
senyum, tidak mudah meremehkan orang. Sering sekali Winny salah paham dengan sikap
lelaki itu, membuat ia lelah patah hati karena perasaannya sendiri.
“Bener kan, si
gadis brokoli,” kata seorang yang tadi berseru memanggil namanya. Winny
menunduk, perubahan yang ia lakukan justru membuatnya merasa malu. Apa bedanya
jika ia datang dengan rambutnya yang keriting, tidak ada bednya dengan
rambutnya yang sudah susah payah diluruskan, tetap saja brokoli jadi panggilan
yang tidak bisa dihilangkan.
“Dia bukan gadis
brokoli lagi,” kata Panca, tidak terdengar seperti belaan, tapi hanya
menegaskan, bahwa rambut Winny sekarang lurus.
“Hei, anak baru,
Panca. Welcome in Bandung club,” sahut yang lain mencairkan suasana.
“Thank you,
senang bertemu kalian lagi.”
“Bersenang-senanglah
untuk malam ini, malam reuni sekaligus tahun baru.”
Sekarang semuanya
sudah kembali ke tempatnya semula, melanjutkan percakapan−−mungkin yang tadi
terhenti karena kehadiran brokoli dan pangeran tampan.
Mata Winny berbinar,
malam ini begitu spesial, berada di tempat yang sama pada malam tahun baru
dengan orang yang disukai adalah sudah cukup membahagiakan. Tak perlu
berangan-angan lebih ingin mengobrol, apalagi pulang bersama. Dengan hanya
melihatnya saja itu sudah cukup. Doanya terkabul setelah ribuan hari dilewati.
Kembang api di
tembakkan ke angkasa, berpencar indah beraneka bentuk, semua mata saling
melihat ke atas. Winny menutup mata takut-takut, Panca yang berada di
sebelahnya heran, tertarik untuk bicara dengan sedikit berteriak karena semakin
bisingnya kafe out door ini.
“Kenapa kamu
nggak lihat kembang apinya?”
Winny terkejut,
membuka matanya dan melirik pada lelaki di sebelahnya itu. Menunggu apa yang
akan Panca katakan lagi, karena terus terang Winny tidak tahu harus menjawab
apa. Ia hanya takut, takut saat melihat cahaya kembang api itu membuatnya
terbangun dari mimpi.
“Pertama kali
sejak umurku sebelas tahun, aku berharap bisa melewati tahun baru bersama
keluargaku melihat kembang api. Tetapi belum juga malam itu datang justru aku
kehilangan kembang api itu selama-lamanya.”
Panca terdiam,
teringat kejadian saat sebelas tahun yang lalu. Yang mana ketika itu ia
berpamitan dengan teman sekelasnya karena akan pindah sekolah dan tempat
tinggal keluar kota. Winny menangis di sudut tembok yang buntu, bukan menangisi
kepergiannya, mealinkan karena keergian ayahnya untuk selama-lamanya.
“Maaf...” Panca
menatap Winny merasa bersalah.
“Nggak apa-apa.”
Winny menggeleng dan tersenyum. Sekarang kembang apinya mulai menyala lagi. Mungkin,
mungkin saja jika boleh ia berharap, berkhayal, dan bermimpi, jika Panca adalah
kembang apinya yang akan tetap terang dalam kehidupannya.
**
Semalam hidup
Winny terasa jungkir balik, sama seperti rambutnya sekarang yang mulai berbentuk
tak karuan. Perasaan nyaman yang menghinggapinya selama beribu-ribu hari bisa
dikalahkan oleh satu waktu malam tadi. Sebentar saja, melakukan perubahan,
perbedaan benar-benar membuatnya bahagia. Jika saja mulai detik ini, setiap
kali Winny memandang hidup ke depan, banyak mencoba, dan tidak sama setiap
harinya di depan layar komputer ataupun ponsel, pasti akan banyak momen
mengejutkan yang menanti diluar sana.
Pagi ini ia akan
pergi ke sekolah dasarnya dulu, Panca memberitahunya akan bermain di sana,
mengenang masa kecilnya yang ia habiskan begitu singkat di kota Bandung.
“Win, mau pergi
kemana pagi-pagi gini?”
“Olahraga di SD,
Ma.” Winny menggaruk-garuk rambutnya yang tidak sempat ia bersihkan dari sisa
obat lurusnya.
“Kamu nggak
mandi dulu apa?”
“Udah, Ma.”
Winny menyaut sambil memakai sepatu olahraganya.
“Rambut kamu
itu?”
“Mubajir, Ma. Masih
sedikit lurus nih, kalau di keramas bisa luntur.”
“Jorok banget,
sih.”
Winny tertawa
riang, melangkahkan kakinya seringan mungkin. Semalam ia sudah berpikir,
menjadi nyaman dengan peampilan harus tetap dipertahankan, karena menjadi diri
sendiri artinya tidak berbohong. Memang akan terlihat jelas ia memaksakan
rambutnya yang seperti ini, tapi tidak apa-apa untuk sekali ini saja bertemu
dengan Panca dalam keadaan yang menarik, alias tidak jelek. Karena setelah ini,
ia tidak tahu akan bisa bertemu lagi dengannya atau tidak.
“Maaf,
terlambat.” Panca berlari menghampiri Winny yang sedang merentangkan tangannya
melakukan pemanasan.
“Nggak apa-apa,”
Winny terkekeh pelan. “Selamat pagi.”
“Pagi, Brokoli di tahun
baru.”
**

Senangnya menikmati kehidupan si gadis brokoli XD Akhirnya ia menemukan seseorang! Terima kasih atas tulisannya ya kak, kebetulan saya juga ikutan #nuliskilat dan nemu link tulisan kakak, jadi blogwalking deh :D Semoga sukses ya kak!
BalasHapus