(Part 1)
--
Part 2
Antrian siswa memenuhi kantin siang itu. Tampak dua tubuh mungil bermanuver sana-sini sambil menenteng mangkuk bakso dan sebotol air mineral. Keduanya hilir mudik mencari tempat duduk.
--
Part 2
Antrian siswa memenuhi kantin siang itu. Tampak dua tubuh mungil bermanuver sana-sini sambil menenteng mangkuk bakso dan sebotol air mineral. Keduanya hilir mudik mencari tempat duduk.
"Fay!" Teriak seseorang dari belakang mereka.
Si pemilik nama sibuk mencari-cari siapa gerangan yang memanggilnya, sampai akhirnya ia mendapati Wahyu, cowok yang disukainya. Faye berseloroh, mendadak panik.
"Ah, dapet juga tempat duduk," teriak Alit senang, tidak menyadari Wahyu sedang melambaikan tangan ke arah mereka.
Ia sudah berjalan duluan, tapi Faye keburu berdiri di depannya. "Kita cari tempat duduk lain, Lit," kata Faye dengan muka memerah.
"Yaelah, lu mau nyari tempat duduk di mana? Udah penuh, Neng!"
Tiba-tiba Alit mendapati Wahyu sudah berjalan mendekat ke arah mereka. Ia tersenyum-senyum mulai mengerti maksud sikap dadakan sahabatnya ini.
"Oh, lu grogi ya, malu?" Goda Alit. Kontan Faye menunduk makin dalam.
"Tenang aja, gue yang urus," putusnya bernada final.
Ucapan ‘Gabung, yuk!' mungkin terlalu sopan untuk cewek yang tindak-tanduknya sulit ditebak macam Alit.
Sebagai ucapan selamat datang, spontan Wahyu menyapa mereka dengan "Kembar Absurd."
Alit cengengesan bangga sementara Faye malah gemetaran. Bukan karena marah atau tersinggung disapa begitu, tapi ini disebabkan membludaknya grogi yang dicampur dengan sedikit malu, bertepatan dengan momen paling langka dalam hidupnya, semacam kesempatan emas yang sewaktu-waktu bisa berubah jadi jebakan batman.
Karena nila setitik, rusak susu satu tangki: Makan siang bareng cowok yang sudah ditaksirnya hampir tiga tahun ini, tepatnya sejak MOS. Ia jadi kepingin buru-buru pulang dan menggarap curhatannya jadi cerpen.
"Lu kok kepikiran buat manggil kita? Fay tepatnya," tanya Alit penasaran.
"Kan kita CS," jawab Wahyu enteng.
"CS? Sejak kapan? Gue aja nggak nyangka lu bakalan kenal sama kita," timpal Alit.
Wahyu malah terkekeh, "Mana mungkin, gue nggak kenal sama lu. Kontributor mading, kadang juga terlibat sama anak OSIS buat jadi panitia di setiap event sekolah, kecil persentase-nya gua sebagai mantan ketua OSIS nggak ngenalin lu.."
"Gue kira, selama gue kerja bareng anak-anak OSIS, lu nganggap gue nggak ada. Soalnya, tiap ada kerjaan sekalipun, kita nggak pernah tegur sapa. Ternyata lu tahu juga siapa gue. Detektif!" kata Alit takjub.
Wahyu kemudian melirik hati-hati pada Fay. "Kalo sama Fay, gue inget dari zamannya kita masih MOS. Udah gitu, gua suka mampir ke blognya. Berhubung dia member BBI dan suka mereview buku. Ya, hitung-hitung cari referensi," terang Wahyu malu-malu.
"Oh, jadi lu udah tahu Fay. Dia itu bukan cuma member BBI. Sebenernya dia juga editor, tapi freelance. Dia sebenernya kep-" Sebagai tindakan preventif, Fay buru-buru membungkam mulut temannya itu, sebelum Alit mengubrak-abrik wilayah privacy-nya.
"Makannya jangan sambil ngomong, Lit!" Fay melotot.
Alit cuma mesem-mesem.
"Ngomong-ngomong, sepatu lu, mmm," kata Wahyu terbata-bata. "Cinderella mode on!"
Mereka serempak melihat kaki Alit yang tidak bersepatu sebelah. Lalu semburan tawa Wahyu dan diam-diam Faye meledak. Beberapa anak malah sempat memperhatikan ke arah mereka, tapi mereka tampak tidak peduli.
**
**
Setelah pelajaran terakhir selesai, Alit dan Faye menuju ruang satpam, tempat di mana sepatu Alit disita sementara. Ruangan yang tidak seperti ruangan satpam itu, layak disebut kosan mini dengan banyak perabot di dalamnya. Kipas angin yang sejak tadi menyemburkan hawa sejuk membuat siapa pun betah berlama-lama di situ. Rupanya penghuni ‘kosan mini' ini tidak berada di tempat. Bukannya Alit segera langsung mengambil sepatu, ia dan Faye malah leyeh-leyeh di sofa panjang pindahan dari ruang kepala sekolah.
"Fay, lu pulang duluan aja, ya! Gue ada janji sama orang nih."
"Lu mau kopdar?" Faye terkekeh.
"Lu sama Bimo sama jailnya, serius!"
"Iya deh, iya."
"Eh, buruan cepet ambil sepatunya, nanti kena denda telat ngambil lho," goda Faye lagi sambil tertawa.
"Sial!"
Dua anak itu lantas berpisah di parkiran. Faye keluar duluan sambil mengayuh sepedanya, sementara Alit memilih naik angkot.
**
**
Hanya perlu waktu dua puluh menit untuk sampai di Kedai Ramen Saga. Alit mengecek lagi ponselnya, tapi tak ada SMS terbaru dari ‘si calon pembeli', padahal mereka sudah janji bertemu di sini jam tiga sore.
Alit menarik napas panjang, bimbang untuk maju terus atau tidak. Ia memandangi amplop cokelat yang sedang dipegangnya. Bagaimana pun caranya, Faye harus tetap berangkat. Dan hanya ini jalan satu-satunya. Mudah-mudahan ini bukan keputusan yang salah.
**
**
‘Kedai Ramen Saga'
Berkali-kali lelaki itu meyakinkan diri untuk tidak salah mendapati tempat janjiannya dengan si penulis blog. Kedai ini didominasi perabotan dari kayu dengan warna pelitur yang gelap, serta cat tembok yang tidak terlalu terang dan lampu yang redup. Suasananya cozy dan nyaman.
Lelaki itu berdiri di pintu masuk sambil melirik jam tangan, ternyata telat sepuluh menit. Mudah-mudahan ‘si penulis blog' tidak berubah pikiran dengan meninggalkan kedai ini, pikirnya.
"Lit!" Seseorang memanggilnya dari kejauhan.
Rasa-rasanya Alit hafal betul suara ini. Suara yang tak lagi didengarnya selama setahun terakhir. Suara yang ia rindukan dan membuatnya rela menghabiskan pulsa untuk menelponnya dini hari karena insomnia.
"Alit!"
Suara itu memanggilnya sekali lagi. Alit mengedarkan pandangannya. Tiba-tiba badannya bergetar hebat, ‘orang itu', ternyata dia.
**
**
Setelah beberapa waktu saling berpandangan dalam diam, akhirnya Dhani, nama lelaki itu membuka pembicaraan.
"Kamu, apa kabar, Lit?"
"Kita langsung aja keintinya," kata Alit dingin. Ia merasa tidak nyaman jika harus menghabiskan waktu berlama-lama dengannya.
"Oke!" angguk Dhani.
"Jadi, kamu nggak ada sedikit pun firasat kalau yang mau membeli hak cipta cerpen itu aku?" tanya Dhani penuh selidik.
Sebagai jawabannya, Alit hanya diam mematung. Jujur, ia bingung, dan merasa dirinya begitu bodoh sampai segala curhatanya ia tumpahkan di email pada lelaki yang tidak disangkanya Dhani itu.
"Jadi, kamu butuh uang untuk teman kamu itu, ya. Untuk berangkat ke seminar di Jakarta," kata Dhani sekan menegaskan apa yang ia baca di email itu benar.
Alit masih terdiam, ia menggigit bibir bawahnya menahan kesal.
"Kebetulan tunangan aku…" kata Dhani menggantung sambil memainkan cincin di jari manisnya.
"Dia awalnya minta bantuan aku untuk bikin cerpen itu. Dia butuh untuk ngumpulin tugas akhir semester sebelum ujian. Terus, tiba-tiba aku keinget sama kamu. Pas banget, waktu aku mampir ke blog kamu ternyata ada cerpen itu."
"Kenapa tunangan kamu nggak bikin sendiri," kata Alit dingin dengan penekanan tinggi dikata tunangan.
"Kuliah di salah satu universitas negeri di Bandung, jurusan Sastra Indonesia. Percuma, ya, nggak malu apa sama almamater?"
"Dia udah nyoba," jawab Dhani sambil mengaduk-aduk Caramel Tea di depannya.
"Udah buat beberapa judul malah, tapi satu pun nggak ada yang rampung."
Alit membuang napas kesal sambil memalingkan wajahnya.
"Jadi, kamu butuh berapa?" Dhani menegaskan pertanyaan sebelumnya.
Dengan susah payah Alit berdiri, tangannya berpegangan pada meja sekuat tenaga seakan-akan kayu itu bisa rapuh seketika.
"Nggak lama setelah kedua orangtua saya meninggal, saya kenalan dengan seorang penyiar radio. Awalnya cuma iseng nelepon ke acara siarannya. Setelah hari itu, si penyiar radio malah sering menghubungi balik. Awalnya, saya menganggap itu cuma lelucon dan hiburan. Tapi, makin hari kami semakin dekat. Sampai karenanya saya berhasil bangkit, kembali jadi Alit yang dulu," ucap Alit dengan napas tersendat, air matanya mulai turun satu-satu.
"Hal yang nggak bisa Fay lakukan, berhasil dilakukan orang itu. Saya percaya sama dia, tanpa kewaspadaan sedikit pun, saya biarkan dia masuk di hidup saya. Dia masuk dalam daftar orang-orang yang berarti. Tanpa saya tahu, sudah ada orang lain. Dan ujung-ujungnya, orang lain itu berpikir saya-lah yang salah."
"Lit, udah, cerita itu udah selesai!" potong Dhani. Mukanya merah padam.
"Mungkin kamu nggak sadar, kita kok seperti orang yang sedang tawar menawar harga diri. Meskipun saya serahkan cerpen ini ke tangan kamu dengan cuma-cuma, dan kamu mengganti nama penulisnya jadi nama tunangan kamu itu, nggak bakal membekas, Dhan. Dosennya bakal tahu, karena tunangan kamu itu, nggak pernah ngerasain cerita ini. Tunangan kamu nggak pernah ngerasain jatuh cinta dan patah hati sekaligus. Tunangan kamu itu nggak tahu tersiksanya merindukan orang yang harusnya kita benci. Sekeras apapun usahanya, dia nggak akan bisa jadi saya."
Serta merta Alit meninggalkan tempat itu. Rasa kesal, marah, dan bodoh, karena pertemuan yang tiba-tiba itu kini penuh sesak berkecamuk dalam dadanya.
Cerpen yang sudah ia cetak di kertas dan terbungkus rapi di dalam amplop cokelat telah sengaja ia tinggalkan begitu saja di meja. Diorama itu, memang sudah harus selesai.
Alit berjalan pulang seperti orang bingung. Rasa dingin terguyur hujan terkalahkan oleh kesedihan yang memuncak dengan amarah. Sampai akhirnya ia tak sengaja berpapasan dengan Wahyu yang sedang mengayuh sepedanya kuat-kuat menerjang hujan.
"Lit, lu kok masih pake seragam? Dari mana?" Wahyu berhenti tepat di hadapan Alit.
Alit terus menunduk, menyembunyikan wajahnya. "Mending lu anterin gue balik deh!" katanya lesu.
"Lu nggak apa-apa, kan?"
Tanpa dipersilakan, anak perempuan itu naik ke sepeda Wahyu. Ia berdiri di belakang, karena tak ada jok untuk membonceng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar