Jumat, 02 Januari 2015

[Cerpen] Diorama (Return) Part 3

Part 3
Di dalam perpustakaan yang cukup lengang dengan hanya segelintir murid berlalu lalang di antara rak buku terlihat Faye sedang duduk seorang diri di meja baca sambil menulis sesuatu.
"Fay, gue tungguin, tahunya lu udah berangkat duluan. Nggak ngabar-ngabarin lagi," kata Alit dengan suara pelan.
Pagi tadi, ada hal yang sangat jarang terjadi dengan kebiasaan mereka, Alit dan Faye tidak berangkat bersama-sama. Meskipun mereka berbeda kelas dan jurusan, tapi tetap saja ritual berangkat sekolah itu wajib dilakukan bersama-sama.
Sebenarnya ia masih tidak enak badan gara-gara kehujanan kemarin, tapi ia paksakan untuk masuk karena ada ujian praktek Bahasa Inggris.
"Gimana kemarin? Seru?" tanyanya dingin.
"Ya gitu, deh. Kemarin itu-"
"Selamat ya, lu udah dapet duit buat berangkat ke seminar. Ditambah bonus Wahyu pula," ucap Faye lantas membereskan bukunya.
"Lho kok, lu ngomongnya gitu sih?"
"Gue udah tahu kok. Semuanya! Lu ngejual Diorama itu, kan? Gue speechless, tahu nggak. Katanya itu peninggalan otentik, kenang-kenangan lu sama Dhani. Tapi demi duit, lu jual juga. Tiap ada cowok keren yang papasan sama kita, awalnya lu puji, tapi ujung-ujungnya lo nggak mau karena nggak ada yang kayak Dhani. Tapi sekarang, sama Wahyu, kok lu mau?" ucap Faye menantang.
"Enam tahun kita temenan, gue baru tahu, lu aslinya kayak gini," lanjut Faye tanpa sempat memberikan Alit kesempatan untuk bicara. Lantas ia pergi meninggalkannya sendiri.
Alit ingin berteriak menjelaskan. Ingin lari mengejarnya. Tapi kemarahan Faye tadi merenggut semuanya. Ia begitu terkejut hingga tak sanggup lagi bicara. Alit rasa, kakinya tak mampu lagi berdiri. Kepalanya sakit bukan kepalang. Akhirnya ia roboh, tak sadarkan diri.
**

"Ayo dimakan, Lit, buburnya." Mimih duduk di samping tempat tidur Alit.
"Alit belum pengen makan, Mih. Mimih nggak ke warung? Siapa yang jaga di sana."
"Mimih pengen libur, Lit. Nggak apa-apa warung sekali-kali ditinggal. Kan ada karyawan."
"Mih," tanya Alit ragu. "Kenapa sih, Mimih restuin Alit untuk jadi penulis? Kenapa Mimih nggak nyuruh Alit jadi guru, pegawai Bank, atau karyawan swasta?"
"Mimih lihat, menulis itu sudah seperti rumah buat kamu."
"Rumah?"
"Iya, rumah. Walaupun kita diberi tumpangan untuk tinggal di istana yang megah, nggak akan ada yang bisa menyaingi kenyamanan tinggal di rumah kita sendiri, meskipun rumah kita ini jelek. Sama halnya dengan sehebat-hebatnya tempat perantauan, kita pasti kangen sama rumah kita. Karena di rumah, kamu bisa menjadi diri kamu sendiri, kamu punya hak untuk berpendapat dan berbicara. Di rumah, kamu akan bebas dari gangguan orang lain. Dan sekeras apapun Mimih melarang kamu, pada akhirnya, kamu pasti tetap pulang ke rumahmu."
Alit merasa tertampar. Ia jadi teringat Faye. Tentu, ia ingin membangun rumah itu bersama-sama dengan Faye. Tinggal di situ selama-lamanya, tapi mengingat kejadian tadi pagi, harapannya tampak pupus. Ia menangis sejadi-jadinya, beruntung ada Mimih yang memeluknya sayang.
**
Alit tak pergi ke seminar itu, mungkin Faye juga begitu. Alit tak persis tahu. Beberapa bulan terakhir ini, Alit melewati kesehariannya di sekolah sendirian.
Memang sejak hari itu, ia dan Faye jadi begitu jauh, seperti dipisahkan oleh sekat tak kasat mata. Tak ada lagi teriakan Faye yang mengajaknya berangkat sekolah sama-sama, tak ada lagi teman pada saat jam istirahat untuk berbagi bekal makan siang. Saat bertemu di sekolah pun mereka ibarat orang asing.
Sejujurnya, Alit begitu mengkhawatirkan sahabatnya. Karena dengan orang lain, Faye begitu pendiam dan tertutup. Kendati begitu, hati kecilnya meyakini bahwa Faye pasti sanggup mandiri. Sahabatnya itu sudah membuktikannya selama ini, meski kedua orangtuanya melarangnya berhubungan dengan dunia kepenulisan, namanya berhasil muncul sebagai editor di beberapa novel.
Mungkin hanya butuh waktu untuk menjelaskan semuanya. Waktu yang disebutnya sebagai proses di mana segala keajaiban pasti akan datang.
**
Epilog:
Pemandangan langit sore yang begitu menyilaukan membuatnya memicingkan kedua matanya. Ia seharusnya sudah berangkat ke Jakarta sejak siang tadi dengan pesawat. Namun, ia bersikukuh untuk melakukan perjalanan malam hari dengan kereta. Ia ingin mengulang lagi kenangan itu, lalu merekamnya di otak.
"Heh, songong lu, ya! Sekarang udah jadi penulis di majalah nggak pake ngabar-ngabarin gue!" Suara itu tiba-tiba muncul.
Ia sadar sedang tidak bermimpi. Dan suara itu jauh lebih nyata, dari sekedar halusinasi. Alit segera membalikkan badannya.
"Fay!" Suaranya sedikit serak. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat.
Keduanya saling menghambur dalam pelukan.
"Lu juga sombong, mentang-mentang sekarang udah jadi penulis best seller."
**
Ps:
Ini cerpen punyanya sohib gue, Aini. Dia menulisnya di catatan Facebook. Sebagai pembaca berjiwa penulis setengah editor, gue gatel pengin ngedit cerpennya yang terposting di Facebook dalam keadaan acak-acakan.
Hal pertama yang membuat seseorang tertarik untuk membaca adalah tampilannya, jika tampilannya udah acak kadut, bakal males buat dilirik. Yah, meskipun kita nggak tahu bahwa barangkali cerita yang ditulis sangat bagus.
Inilah yang terjadi dengan cerpen yang sebelumnya berjudul Diorama ini. Dengan nekatnya gue kasih judul tambahan sendiri, Return. Beruntungnya sohib gue ngizinin dan nggak masalah dengan aksi gue edit mengedit. Tapi, tetep gue minta maaf atas segala kenekatan dan kekurangan ini.
So, I wanna say, thank you!
Oh ya, barangkali cerpen ini memang terlalu cepat menyelesaikan konfliknya, tapi sebenarnya ada cerita panjang dibalik Alit dan Faye yang bisa dipersatukan lagi. Mungkin bisa kali ya kita minta Aini menjadikannya sebuah novel. Well, kita tunggu saja! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar