Penulis: Aini Dandelion
Editor: Irnari
Editor: Irnari
Part 1
"Alit, buruan, gue ada kuis!" Teriak seorang anak perempuan berseragam putih abu yang duduk di sepedanya. Tangannya mencengkeram stang, siap kapan saja untuk meluncur. Kedua matanya memandang gelisah ke arah jam tangan, sambil sekali-sekali membetulkan name tag-nya yang bertuliskan Faye.
"Alit, buruan, gue ada kuis!" Teriak seorang anak perempuan berseragam putih abu yang duduk di sepedanya. Tangannya mencengkeram stang, siap kapan saja untuk meluncur. Kedua matanya memandang gelisah ke arah jam tangan, sambil sekali-sekali membetulkan name tag-nya yang bertuliskan Faye.
"Iya, iya." Anak perempuan yang dipanggilnya, Alit, keluar sambil menuntun sepedanya.
Faye sengaja berputar memainkan sepeda, sementara Alit sibuk berkata-kata membela diri kenapa ia terlambat.
"Gue abis beresin gedung juang dulu. Pulang jualan kan jam sebelas, gue langsung tidur. Baru sempet beres-beres nih. Kalo ditinggal berantakan, kasihan mimih (nenek)."
Yang disebutnya gedung juang adalah tempat tinggalnya: rumah gaya lama dengan halaman cukup luas dan pohon mangga tua yang berdiri kokoh layaknya pasak.
Faye berhenti berputar-putar, sebagai gantinya malah menopang dagu sambil memejamkan mata, hitung-hitung mengganti jam tidurnya yang kurang lama.
"Semalam suntuk gue ngedit naskah. Cuma dapet tiga puluh lembar doang sampe adzan shubuh. Udah aja gue lanjut sholat terus siap-siap sekolah."
"Lo tidur, Fay?" Alit mendadak melotot. "Sakti lo!" katanya lagi heran.
"Gantiin yang semalem. Gue lupa nih, Fisika ada kuis jam pertama. Maklum lah, kejar setoran buat ongkos seminar," timpal Faye lesu sambil mengucek-ngucek mata.
Ingatan Alit terbang ke status akun Facebook milik salah satu penerbit sebulan yang lalu. Katanya di awal Desember mereka akan menyelenggarakan seminar kepenulisan, Dee Lestari, Winna Efendi, dan Raditya Dika, di dapuk jadi pembicara.
Ia dan Faye mendadak dilema, melihat penulis panutannya yang akan jadi pemateri seminar. Mereka yang memang sama-sama hobi menulis sudah berapi-api dan semangat empat lima untuk datang ke acara seminar itu. Sayangnya, tempatnya jauh dari jangkauan mereka, Jakarta. Ditambah lagi HTM-nya-yang bagi mereka butuh waktu setengah tahun agar bisa mengumpulkannya.
Setelah mengobrol sekaligus minta restu pada orangtua Alit seminggu yang lalu, Mimih berkata, "Kamu harus punya senggaknya lima ratus ribu, sukur-sukur kalau lebih. Untuk jaga-jaga."
Ini sudah akhir November, tapi uang yang berhasil dikumpulkannya baru mencapai kisaran seratus lima puluh ribu.
Tanpa sengaja, Alit dan Faye saling pandang. Tiba-tiba keduanya gelagapan, terburu-buru naik sepeda dan mengayuhnya. Melesat lewat ke jalan-jalan sempit yang membelah perumahan warga.
"Kesiangan!" teriak mereka serempak.
**
**
"Sepatu lu disita sebelah lagi?" Seorang anak laki-laki sebaya dengan Alit menghampirinya di koridor. Keduanya jalan sama-sama menuju ruang kelas.
"Iya," jawab Alit memelas, ia memandangi kaki kirinya yang tanpa alas kaki.
"Ckckck. Kayaknya lu emang ada bakat jadi pemecah rekor. Rekor kesiangan."
"Aduh, udahlah, Bim. Nggak usah dibahas!" timpalnya keki. Bimo cuma bisa mengedikkan bahu.
"Semalem, gue mampir ke blog lu, cuma pengin baca-baca cerpen doang sih. Gue lihat ada yang komen-tepatnya di cerpen lu yang Diamora, apa Diomara, ya?" Bimo mengusap dagu, keningnya berkerut.
"Diorama?" Alih-alih menjawab Alit malah balik bertanya.
"Iya tuh, yang itu!" Bimo menjentikkan jari, air mukanya berubah cerah. "Katanya dia mau beli cerpen lu yang itu, ya? Emang lu mau jual? Itu kan udah terlanjur dipublikasi, Lit. Emang itu orang perlu buat apa?" Bimo masuk ke dalam kelas disusul Alit di belakangnya. Keduanya berbarengan duduk di bangku masing-masing yang letaknya bersebelahan.
"Yaelah. Lu mau nanya apa interogasi?"
Tak lama berselang laki-laki paruh baya dengan penampilan fresh dan necis masuk ke kelas mereka.
"Pagi, anak-anak!" Sapanya ramah tanpa bermaksud tersenyum. Guru ini memang jarang sekali tersenyum apalagi bercanda, jika melihatnya ramah pasti itu ada maksud tertentu. Saat semua murid menjawab salam terjadi keheningan yang panjang.
"Hari ini kita ulangan!" Suara Pak Harfandi memecah kesunyian.
Serta merta Alit melotot. Raut mukanya tidak senang. Matanya menyapu kelas, mencari ketua kelas di antara deretan tempat duduk. Saat kedua matanya berhasil menemukan sosok kepala pelontos itu, ia lebih melotot lagi minta penjelasan.
Sebenarnya Alit berencana bertapa di sekretariat mading mencari inspirasi untuk bahan tulisan. Tapi semuanya jadi amburadul dan gagal total gara-gara guru Sosiologi-nya masuk.
"Informasi lo salah besar! Kalo gini ceritanya, gua nggak bakalan janji bikinin cerpen sama orang itu," katanya dengan bahasa telepati.
Seolah-olah mengerti, Ketua Kelas menjawabnya sambil geleng-geleng kepala. Matanya memandang Alit seolah-olah berkata, "Kemaren gue dikasih tahu Pak Harfandi kalau beliau nggak bakal masuk hari ini." Lantas ia mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf V.
Alit kembali fokus pada mejanya, sambil menopang dagu, berpikir. "Gimana, ya? Deadline-nya ntar sore lagi. Apa gue kasih yang Diorama aja? Tapi, itu kan..." gerutunya dalam hati menggeleng-gelengkan kepala tidak setuju.
Semua murid sadar bahwa Pak Harfandi sedang berkeliling memantau jalannya ulangan agar tidak ada yang berani melakukan aksi mencontek. Namun, tidak bagi Alit yang masih saja bergelut dengan suara hatinya. Sampai-sampai ia tersentak kaget begitu mendengar suara dehaman Pak Harfandi.
"Alit, kamu sudah selesai mengerjakannya?" tanya Pak Harfandi sinis sudah berada dekat di meja Alit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar